Senin, 26 Februari 2018

MEMAHAMI TEKNIK PENGOLAHAN KERUPUK IKAN

MEMAHAMI TEKNIK PENGOLAHAN KERUPUK IKAN


Teknologi Pengolahan Kerupuk Ikan

Kerupuk atau krupuk adalah makanan ringan yang dibuat dari adonan tepung tapioka dicampur bahan perasa seperti udang  atau ikan. Kerupuk dibuat dengan mengukus adonan sebelum dipotong tipis-tipis, dikeringkan di bawah  sinar matahari dan digoreng dengan minyak goreng yang banyak. Kerupuk bertekstur garing dan sering dijadikan pelengkap untuk berbagai makanan Indonesia seperti nasi gorengdan gado gado.  Kerupuk udang dan kerupuk ikan adalah jenis kerupuk yang paling umum dijumpai di Indonesia. Kerupuk berharga murah seperti kerupuk aci atau kerupuk mlarat hanya dibuat dari adonan sagu dicampur garam, bahan pewarna makanan, dan bumbu penyedap. Kerupuk biasanya dijual di dalam kemasan yang belum digoreng. Kerupuk ikan dari jenis yang sulit mengembang ketika digoreng biasanya dijual dalam bentuk sudah digoreng. Kerupuk ikan merupakan produk hasil perikanan yang terbuat dari campuran daging ikan dan bumbu-bumbu/bahan-pembantu lainnya melewati proses pengadonan, percetakan, perebusan/pengukusan, pengirisan dan pengiringan.

Bahan :
  • Lumatan daging ikan                      20%                            200 gr
 Bahan pembantu dan bahan tambahan :
  • Tepung tapioca                                80%                            800 gr
  • Garam                                                2,5%                           25 gr
  • Gula halus                                        0,5%                           5 gr
  • Soda kue                                           0,1%                           1 gr
Cara membuat :  
 1. Pelumatan daging
Daging ikan dilumatkan dengan menggunakan alat pelumat daging (grinder) atau dilumatkan secara manual dengan cara dicincang menggunakan pisau
2. Pembuatan bubur ikan
Daging ikan yang sudah lumat kemudian ditambahkan 2,5% garam, 0,5% gula, 0,7% vetsin, 0,1% soda kue dari total jumlah tepung dan ikan yang digunakan
     a. Pembuatan tajin
Perbandingan antara daging ikan dan tepung tapioca dalam pengolahan kerupuk ini adalah 1:4.  Ambil tepung sebanyak 10% dari jumlah tepung kemudian larutkan dalam air dingin hingga tepung larut dalam air (jumlah air yang digunakan sesuai dengan jumlah tepung yang akan dilarutkan).  Panaskan air (+ 50 % dari total jumlah tepung dan ikan yang digunakan) hingga mendidih, selanjutnya tuang air panas tersebut sedikit demi sedikit ke dalam tepung yang sudah dilarutkan, sambil diaduk cepat sampai larutan tepung menjendal menyerupai lem yang berwarna putih bersih. Air panas yang disediakan tidak selalu harus habis, penambahan air dihentikan pada saat larutan sudah mulai menjendal.

      b. Pembuatan adonan
Campurkan bubur ikan kedalam tajin dan diaduk, kemudian tambahkan tepung tapioca sedikit demi sedikit serta diaduk sampai homogen.  Penambahan tepung dilakukan sampai adonan bila dipegang tidak lengket di tangan.

Pencetakan

Adonan dicetak sesuai dengan bentuk yang diinginkan.
      d. Pengukusan
Pengukusan dilakukan selama 30 menit atau sampai matang.  Kerupuk dianggap matang bila adonan yang dikukus ditusuk dengan lidi tidak lengket.  Kemudian kerupuk didinginkan pada suhu ruang selama 1 malam.  Hal ini dimaksudkan agar kerupuk menjadi keras dan memudahkan dalam proses pemotongan.
  • Pemotongan dan Pengeringan
Kerupuk yang sudah kering dipotong-potong sesuai dengan ketebala yang diinginkan.  Selanjutnya dilakukan pengeringan dengan penjemuran di bawah sinar matahari dengan menggunakan para-para sampai kering.  Lama pengeringan kira-kira satu sampai dua hari.
  • Penggorengan
Setelah kerupuk kering, kemudian dilakukan penggorengan dengan pemanasan pada suhu 200ÂșC atau sampai kerupuk mengembang.
  • Pengemasan
Kerupuk dikemas sesuai kebutuhan, dalam bentuk mentah maupun matang

Selasa, 20 Februari 2018

PROSEDUR PENANGANAN KASUS PENOLAKAN PRODUK PERIKANAN DI NEGARA TUJUAN EKSPOR







SUMBER:
BKIPM, 2011. Leaflet Prosedur Penanganan Kasus Penolakan Produk Perikanan di Negara Tujuan Eksport. Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan, Pusat Sertifikasi Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan, Jakarta. di download pada laman http://www.bkipm.kkp.go.id/files/publikasi/poster/Leaflet_Penolakan2.pdf

Selasa, 13 Februari 2018

Lembaga Sertifikasi Produk Hasil Perikanan (LSPro-HP)


Organisasi Lembaga Sertifikasi Produk Hasil Perikanan (LSPro-HP) dibentuk berdasarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP.61/MEN/2009 Tentang Pemberlakuan Wajib Standar Nasional Indonesia Bidang Kelautan dan Perikanan dan Peraturan Direktur Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan Nomor 01/PER-DJP2HP/2013 Tentang Lembaga Sertifikasi Produk Hasil Perikanan yang berlokasi di Jl. Raya Setu No. 70, Cipayung Jakarta Timur 13880  Telp./fax (021) 84997969/ 84999370 email: lsprohp@mail.comLSPro-HP adalah merupakan lembaga nonstruktural yang bersifat mandiri dan berada di bawah tanggung jawab Direktur Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan.LSPro-HP merupakan lembaga yang bersifat independen, impartial dan professional dalam operasinya.LSPro-HP selalu menggunakan standar produk yang diakui oleh stakeholder, dan dilaksanakan dengan prinsip efektif dan efisien.LSPro-HP telah diakreditasi oleh Komite Akreditasi Nasional dengan Nomor LSPr-40-IDN
KEBIJAKAN MUTULSPro-HP sebagai lembaga sertifikasi produk dilaksanakan berdasarkan Pedoman BSN SNI ISO/IEC 17065:2012 (Conformity assessment – Requirements for bodies certifying products, processes and services).Manajemen LSPro-HP menjamin konsistensi dalam mengoperasikan sertifikasi berdasarkan SNI ISO/IEC 17065:2012 dengan menjaga ketidakberpihakan dan independensi dengan kegiatan training maupun konsultasi dilingkup yang sama dengan bidang sertifikasi.LSPro-HP menjamin bahwa persyaratan SNI ISO/IEC 17065:2012 dan Panduan Mutu ini serta dokumen pendukungnya dimengerti, dilaksanakan, dan dipelihara oleh semua personil tetap maupun personil kontrak.Dalam melaksanakan sertifikasi, LSPro-HPselalu menggunakan standar produk yang diakui oleh stakeholder, dan dilaksanakan dengan prinsip efektifitas dan efisiensi.
 VISI dan MISIVisi LSPro-HP adalah menjadi Lembaga Sertifikasi Produk yang maju, mandiri, berdaya saing, dan terpercaya.Misi LSPro-HP adalah:a.     Meningkatkan kompetensi sumber daya LSPro-HP (Sumber Daya Manusia dan Sarana Prasarana)b.     Meningkatkan kemandirian LSPro-HPc.     Meningkatkan daya saing pelayanan LSPro-HPd.     Meningkatkan kepercayaan konsumen  terhadap mutu  sertifikasi LSPro-HP


Sumber: www.teraskreasi.com

http://www.bbp2hp.p2hp.kkp.go.id/artikel-719-lembaga-sertifikasi-produk-hasil-perikanan-lsprohp.html#ixzz3NS5PCfZH

Rabu, 07 Februari 2018

MEMAHAMI TEKNIK PEMBUATAN SOSIS IKAN

MEMAHAMI TEKNIK PEMBUATAN SOSIS IKAN


SOSIS IKAN
Sosis ikan adalah salah satu olahan yang terbuat dari daging ikan yang sudah dihaluskan dan ditambah dengan bumbu-bumbu, kemudian dibungkus/dikemas dengan pengemas yang biasa disebut “Casing”. Jenis-jenis ikan yang dapat digunakan sebagai bahan untuk membuat sosis ikan adalah ikan kakap, tenggiri, dan ikan lainnya. Di samping itu ada beberapa jenis ikan dasar yang merupakan hasil samping tangkapan udang (golongan trasfish) seperti bloso, selanget, kuniran, mata besar, tigawaja, dll. Jenis-jenis ikan tersebut termasuk ikan yang harganya relatif murah, berkulit keras tetapi dagingnya mengandung protein yang sama dengan jenis ikan lain. Ikan yang berwarna putih/krem, bisa dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan sosis ikan. Daging ikan dari golongan trasfish biasanya diolah menjadi surimi yang dapat digunakan sebagai bahan baku sosis ikan.

BahanBaku:
Surimi/Mince               100 %       700 g
BahanTambahandanBahanPembantu:
Garam                           1,5 %     (11 g)
Lada                              0,5 %     (4 g)
Susu Bubuk                     3 %     (21 g)
Bawang Putih                  2 %      (14 g)
Bawang Merah                3 %        (21 g)
Jahe                              0,5 %       (4 g)
Tepung Tapioka               20 %     (140 g)
Sorbitol (gula halus)         2 %     (14 g)
Baking Soda                  0,2 %     (1 g)
Flavour (smoke)            0,5 %     (4 ml)
Minyak Goreng                2 %     (14 ml)
Air Es                   20 %-30 %      (140-210 ml)
Pewarna                  Secukupnya

Peralatan:
  1. Food processor/silent cutter/mixer
  2. Waterbath/Kompor
  3. Panci Perebusan
  4. Pisau Talenan
  5. Sendok
  6. Sodet
  7. Serokan
  8. Stuffer
  9. Plastik Casing
 Cara Pengolahan Sosis Ikan:
  1. Surimi dilumatkan bersama dengan garam kedalam Food processor
  2. Adonan kemudian dimasukkan ke dalam cashing (pembungkus sosis) dengan menggunakan alat sosis (stuffer). Setiap panjang tertentu (5 cm) sosis diikat dengan klem secara otomatis atau dengan cara manual.
  3. Sosis hasil cetakan direbus pada suhu 400 C selama 20 menit. Selanjutnya direbus pada suhu 900 C selama 20 menit. Kemudian dinginkan dan dikemas.


Sumber: www.teraskreasi.com

http://www.bbp2hp.p2hp.kkp.go.id/artikel-748-sosis-ikan.html#ixzz3NS3BherD

Kamis, 01 Februari 2018

PENGELOLAAN KUALITAS AIR DI KARAMBA JARING APUNG

Kualitas air adalah suatu ukuran kondisi air dilihat dari karakteristik fisik, kimiawi, dan biologisnya. Kualitas air juga menunjukkan ukuran kondisi air relatif terhadap kebutuhan biota air dan manusia. Untuk melestarikan fungsi air perlu dilakukan pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air secara bijaksana dengan memperhatikan kepentingan generasi sekarang dan mendatang serta keseimbangan ekologis. Beberapa hal yang ingin dijelaskan dalam artikel ini adalah persyaratan mutu air, pengelolaan kualitas air terhadap limbah pakan dan kotoran ikan dan pengelolaan KJA menghadapi penomenaupwelling.
Kata kunci: kualitas air, pengelolaan kualitas air, karamba jaring apung.

PENDAHULUAN
Air merupakan salah satu sumber daya alam yang memiliki fungsi sangat penting bagi kehidupan dan perikehidupan manusia, serta untuk memajukan kesejahteraan umum, sehingga merupakan modal dasar dan faktor utama pembangunan. Untuk melestarikan fungsi air perlu dilakukan pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air secara bijaksana dengan memperhatikan kepentingan generasi sekarang dan mendatang serta keseimbangan ekologis.
Sumber air adalah wadah air yang terdapat di atas dan di bawah permukaan tanah, termasuk dalam pengertian ini mata air, sungai, rawa, danau, situ, waduk, dan muara. Sumber Daya Air dikelola berdasarkan asas kelestarian, kesimbangan, kemanfaat umum, keterpaduan dan keserasian, keadilan, kemandirian, serta transparansi dan akuntabilitas. Menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004: Pengelolaan Sumber Daya Air adalah upaya merencanakan, melaksanakan, memantau, dan mengevaluasi penyelenggaraan konservasi sumber daya air, pendayagunaan sumber daya air, dan pengendalian daya rusak air. Pola pengelolaan sumber daya air adalah kerangka dasar dalam merencanakan, melaksanakan, memantau, dan mengevaluasi kegiatan konservasi sumber daya air, pendayagunaan sumber daya air, dan pengendalian daya rusak air.  Rencana pengelolaan sumber daya air adalah hasil perencanaan secara menyeluruh dan terpadu yang diperlukan untuk menyelenggarakan pengelolaan sumber daya air.
Kegiatan budidaya perikanan pada umumnya membutuhkan lebih banyak air per unit area atau per unit produksi dibandingkan kegiatan peternakan dan budidaya pertanian. Ketersediaan sumber air yang berkualitas sering kali menentukan keberhasilan atau kegagalan usaha budidaya perikanan (Pillay, 1990).
Peran kualitas air dalam budidaya ikan, antara lain berupa: (1) penentu keberadaan berbagai jenis organisme yang ada dalam ekosistem perairan, baik terhadap ikan yang dibudidayakan maupun biota lainnya sebagai penyusun ekosistem; (2) pemberi pengaruh yang cukup besar terhadap pertumbuhan dan kelulushidupan ikan; dan (3) penentu keberhasilan dalam budidaya ikan, selain jumlahnya harus mencukupi, kualitas yang baik akan menghasilkan output yang baik pula.
Budidaya ikan dengan Karamba Jaring Apung (KJA) di waduk dan danau merupakan budidaya berbasis pelet (budidaya intensif), dengan kata lain kegiatan usaha yang efisien secara mikro tetapi inefisien secara makro, terutama apabila ditinjau dari segi dampaknya terhadap lingkungan. Pertumbuhan jumlah keramba yang terus meningkat yang berarti terus meningkatnya jumlah ikan yang dipelihara akan menghasilkan sejumlah limbah organik yang besar akibat pemberian pakan yang tidak efektif dan efisien.
Pada saat jumlah KJA melampaui batas tertentu dapat mengakibatkan proses sedimentasi yang tiggi berupa penumpukan sisa pakan di dasar perairan, limbah tersebut akan menyebabkan penurunan kualitas perairan (pengurangan pasokan oksigen dan pencemaran air danau/waduk) yang pada akhirnya mempengaruhi hewan yang dipelihara. Sisa pakan dan metabolisme dari aktifitas pemeliharaan ikan dalam KJA serta limbah domestik yang berasal dari kegiatan pertanian maupun dari limbah rumah tangga menjadi penyebab utama menurunnya fungsi ekosistem danau yang berakhir pada terjadinya pencemaran danau, mulai dari eutrofikasi yang menyebabkan ledakan (blooming) fitoplankton dan gulma air seperti enceng gondok (Eichornia crassipes), upwelling dan lain-lain yang yang dapat mengakibatkan organisme perairan (terutama ikan-ikan budidaya) serta diakhiri dengan makin menebalnya lapisan anaerobik di badan air danau.
Kotoran ikan dapat menimbulkan deposisi yang meningkat di dasar perairan, selanjutnya mengakibatkan penurunan kadar oksigen di bagian dasar. Lukman (2002) menjelaskan bahwa pasokan oksigen dalam pengelolaan KJA adalah untuk respirasi biota, pembusukan feses ikan dan pembusukan sisa pakan ikan. Menurutnya untuk setiap gram organik (limbah budidaya ikan) diperlukan 1,42 gram oksigen. Konsentrasi oksigen yang tersedia berpengaruh secara langsung pada kehidupan akuatik khususnya respirasi aerobik, pertumbuhan dan reproduksi. Berdasarkan beberapa keadaan dan permasalahan tersebut perlu dilakukan penulisan ilmiah mengenai “Pengelolaan Kualitas Air di Lingkungan Karamba Jaring Apung” dalam rangka turut memberikan masukan kepada pihak terkait.



TUJUAN PENULISAN MAKALAH
Berdasarkan permasalahan pada bagian latar belakang, tujuan penulisan makalah ini adalah:
1.    Menjelaskan bagaimana pengelolaan kualitas air terhadap limbah pakan dan kotoran ikan.
2.   Menjelaskan bagaimana pengelolaan KJA menghadapi penomena upwelling.

TINJAUAN PUSTAKA
Menurut Diersing (2009), Kualitas air adalah suatu ukuran kondisi air dilihat dari karakteristik fisik, kimiawi, dan biologisnya. Kualitas air juga menunjukkan ukuran kondisi air relatif terhadap kebutuhan biota air dan manusia. Karakter kualitas air yang perlu diperhatikan dalam budidaya ikan, antara lain: (a) Karakter kimia air: Salinitas, DO (Dissolved Oxygen), BOD, COD, logam berat, Nitrat, Derajat Keasaman (pH), dan Akalinitas; (b) Karakter fisika air: kecerahan (transparansi) air, suhu, padatan terlarut, padatan tersuspensi, bau, warna, rasa dan kedalaman air. dan (c) Karakter biologi air: kepadatan dan kelimpahan plankton, EphemeropteraPlecoptera,TrichopteraMolluscaEscherichia coli dan Bakteri koliform.

Mutu air adalah kondisi kualitas air yang diukur dan atau diuji berdasarkan parameter-parameter tertentu dan metoda tertentu berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kelas air adalah peringkat kualitas air yang dinilai masih layak untuk dimanfaatkan bagi peruntukan tertentu (Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 Pasal 1).
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 Pasal 8, Klasifikasi Mutu dan Kelas Air dibagi kedalam:
a.    Kelas Satu: air yang peruntukannya dapat digunakan untuk air baku air minum, dan atau peruntukan lain yang memper-syaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut;
b.   Kelas Dua: air yang peruntukannya dapat digunakan untuk prasarana/sarana rekreasi air, pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman, dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut;
c.    Kelas Tiga: air yang peruntukannya dapat digunakan untuk pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman, dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut;
d.   Kelas Empat: air yang peruntukannya dapat digunakan untuk mengairi pertanaman dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut.

Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1990 Pasal 7, Penggolongan air menurut peruntukkannya ditetapkan sebagai berikut :
1.   Golongan A: air yang dapat digunakan sebagai air minum secara langsung tanpa pengolahan terlebih dahulu.
2.   Golongan B: air yang dapat dighunakan sebagai air baku air minum.
3.   Golongan C: air yang dapat digunakan untuk keperluan perikanan dan peternakan.
4.   Golongan D: air yang dapat digunakan untuk keperluan pertanian, dan dapat dimanfaatkan untuk usaha perkotaan, industri, pembangkit listrik tenaga air.

Tabel 1.  Kriteria Penilaian parameter Kualitas (mutu) Air
No.
Parameter
Klasifikasi Kualitas (mutu) Air
Keterangan
Tercemar Ringan(Kelas 1)
Tercemar Sedang(Kelas 2)
Tercemar Berat 
(Kelas 3)
Tercemar Sangat Berat
(Kelas 4)
1.
BOD/KOB  (mg/l)
< 1,0
1,0-3,0
3,0-6,0
>6,0
Dijabarkan dari baku mutu Air Gol-A, B, C dan D
2.
COD/KOK (mg/l)
<5 span="">
5,0-10,0
10,0-15,0
>15,0
3.
DO/OT (mg/l)
>6,0
5,0-6,0
3,0-5,0
<3 span="">
4.
pH
6,5-8,5
5,0-9,0
6,0-9,0
5,0-9,0
Sumber: Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1990
Menurut Peraturan Pemerintah 82 Tahun 2001 Pasal 1: Pengelolaan kualitas air adalah upaya pemeliharaan air sehingga tercapai kualitas air yang diinginkan sesuai peruntukannya untuk menjamin agar kualitas air tetap dalam kondisi alamiahnya. Pencemaran air adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi dan atau komponen lain ke dalam air oleh kegiatan manusia, sehingga kualitas air turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan air tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya. Pengendalian pencemaran air adalah upaya pencegahan dan penanggulangan pencemaran air serta pemulihan kualitas air untuk menjamin kualitas air agar sesuai dengan baku mutu air.
Upaya pengendalian pencemaran air merupakan wewenang Pemerintah dan Pemerintah Propinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2001, adapun wewenang dalam pengendalian pencemaran air adalah;
a.   menetapkan daya tampung beban pencemaran;
b.   melakukan inventarisasi dan identifikasi sumber pencemar;
c.    menetapkan persyaratan air limbah untuk aplikasi pada tanah;
d.   menetapkan persyaratan pembuangan air limbah ke air atau sumber air;
e.   memantau kualitas air pada sumber air; dan
f.     memantau faktor lain yang menyebabkan perubahan mutu air.
Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang dimaksud dengan pencemaran lingkungan hidup yaitu; masuknya atau dimasukkannya mahluk hidup, zat, energi dan atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup, oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukkannya. Demikian pula dengan lingkungan air yang dapat pula tercemar karena masuknya atau dimasukannya mahluk hidup atau zat yang membahayakan bagi kesehatan. Air dikatakan tercemar apabila kualitasnya turun sampai ke tingkat yang membahayakan sehingga air tidak bisa digunakan sesuai peruntukannya.
Pendayagunaan sumber daya air adalah upaya penatagunaan, penyediaan, penggunaan, pengembangan, dan pengusahaan sumber daya air secara optimal agar berhasil guna dan berdaya guna. Pengendalian daya rusak air adalah upaya untuk mencegah, menanggulangi, dan memulihkan kerusakan kualitas lingkungan yang disebabkan oleh daya rusak air. Pengelolaan kualitas air adalah upaya mempertahankan dan memulihkan kualitas air yang masuk dan yang berada di sumber air (Sumber: Peraturan Pemerintan Nomor 42 Tahun 2008).

PENGELOLAAN KUALITAS AIR TERHADAP LIMBAH PAKAN DAN KOTORAN IKAN
Salah satu wadah budidaya perikanan yang berbasiskan air adalah karamba jaring apung (KJA/floating net cage). KJA merupakan salah satu teknik budidaya ikan di perairan umum seperti sungai, waduk, danau, dan laut. Setiap perairan memiliki karakteristik yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Budidaya ikan dengan KJA di waduk dan danau merupakan budidaya berbasis pelet (budidaya intensif), dengan kata lain kegiatan usaha yang efisien secara mikro tetapi inefisien secara makro, terutama apabila ditinjau dari segi dampaknya terhadap lingkungan. Pertumbuhan jumlah keramba yang terus meningkat yang berarti terus meningkatnya jumlah ikan yang dipelihara akan menghasilkan sejumlah limbah organik yang besar akibat pemberian pakan yang tidak efektif dan efisien.
Pada saat jumlahnya melampaui batas tertentu dapat mengakibatkan proses sedimentasi yang tiggi berupa penumpukan sisa pakan di dasar perairan, limbah tersebut akan menyebabkan penurunan kualitas perairan (pengurangan pasokan oksigen dan pencemaran air danau/waduk) yang pada akhirnya mempengaruhi hewan yang dipelihara. Sisa pakan dan metabolisme dari aktifitas pemeliharaan ikan dalam KJA serta limbah domestik yang berasal dari kegiatan pertanian maupun dari limbah rumah tangga menjadi penyebab utama menurunnya fungsi ekosistem danau yang berakhir pada terjadinya pencemaran danau, mulai dari eutrofikasi yang menyebabkan ledakan (blooming) fitoplankton dan gulma air seperti enceng gondok (Eichornia crassipes),upwelling dan lain-lain yang yang dapat mengakibatkan organisme perairan (terutama ikan-ikan budidaya) serta diakhiri dengan makin menebalnya lapisan anaerobik di badan air danau.
Pakan ikan merupakan penyumbang bahan organik tertinggi di danau/waduk (80%) dalam menghasilkan dampak lingkungan. Jumlah pakan yang tidak dikonsumsi atau terbuang di dasar perairan oleh ikan sekitar 20–50%. Berbagai pendapat mengenai jumlah pakan yang terurai di danau /waduk:
-       Lukman dan Hidayat (2002) bahwa sisa pakan dalam bentuk kotoran ikan yang jatuh ke perairan sekitar 50% dari pakan yang diberikan.
-       Krismono (1993) dalam Krismono dan Wahyudi (2002), pemberian pakan dengan sistem pompa memberi sumbangan berupa pakan yang terbuang sekitar 20-30% untuk setiap unit KJA dengan ukuran 7 x 7 x 3 m3.
-       Philips et al., (1993), Boyd (1999), Mc Donad et al., (1996), 30% dari jumlah pakan yang diberikan tertinggal sebagai pakan yang tidak dikonsumsi dan 25-30% dari pakan yang dikonsumsi akan diekskresikan.
-       Sutardjo (2000), limbah pakan yang terbuang ke perairan yang diperkirakan sekitar 30–40%.
-       Azwar dkk (2004), jumlah pakan pada sistem KJA yang diberikan per hari mencapai 3,3% bobot ikan dan dari jumlah pakan yang diberikan tersebut ada bagian yang tidak dikonsumsi mencapai 20–25% dari pakan yang dikonsumsi tersebut akan diekskresikan ke lingkungan.
-       Rachmansyah (2004), pakan yang diberikan pada ikan hanya 70% yang dimakan oleh ikan dan sisanya sebanyak 30% akan lepas ke badan perairan danau sebagai bahan pencemar atau limbah.
Kotoran ikan dapat menimbulkan deposisi yang meningkat di dasar perairan, selanjutnya mengakibatkan penurunan kadar oksigen di bagian dasar. Menurut Lukman (2002), pasokan oksigen dalam pengelolaan KJA adalah untuk respirasi biota, pembusukan feses ikan dan pembusukan sisa pakan ikan. Menurutnya untuk setiap gram organik (limbah budidaya ikan) diperlukan 1,42 gram oksigen. Konsentrasi oksigen yang tersedia berpengaruh secara langsung pada kehidupan akuatik khususnya respirasi aerobik, pertumbuhan dan reproduksi. 
Beberapa hal yang dapat dilakukan dalam pengelolaan limbah pakan dan kotoran ikan dari KJA: (1) pengaturan musim tanam, pengendalian jumlah KJA dan padat tebar ikan di KJA dikurangi atau ikan budidaya diganti dengan jenis yang lebih toleran terhadap konsentrasi DO yang rendah seperti ikan patin, lele, dan betutu; (2) perlu disosialisasikan tentang cara pemberian pakan yang sesuai dengan ketentuan yaitu 3% dari berat badan ikan yang dibudidayakan dan diberikan tiga kali sehari yang dimaksudkan untuk mengurangi jumlah sisa pakan yang masuk perairan; dan (3) perlu disosialisasikan KJA yang ramah lingkungan yaitu KJA ganda dan konstruksi KJA dengan pelampungpolystyrene foam.

PENGELOLAAN KJA MENGHADAPI PENOMENA UPWELLING
Umbalan atau upwelling merupakan peristiwa alam yang terjadi pengadukan atau pembalikan air dari lapisan bawah naik ke permukaan dan sebaliknya. Proses ini berakibat pada kematian ikan dan hewan air lainnya secara masal.
Beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk mengantisipasi dan mencegah kematian ikan akibat “up-welling” adalah:
1.      Mensosialisasikan kepada pembudidaya ikan perihal tanda-tanda akan terjadinya kematian missal ikan. Tanda-tanda itu antara lain berupa: cuaca mendung dan atau hujan yang terus-menerus selama 2-3 hari berturut-turut (tidak ada cahaya matahari masuk ke badan air), dan kualitas air waduk mulai menunjukkan penurunan.
2.      Mengurangi jumlah KJA yang beroperasi atau mengurangi kepadatan ikan yang dipelihara. Jumlah ikan yang dipelihara harus berada di bawah daya dukung perairan.
3.      Segera memanen ikan yang ukurannya mendekati ukuran konsumsi, untuk menekan kerugian yang dapat timbul.
4.      Memilih jenis ikan yang lebih toleran terhadap kadar oksigen yang rendah.
5.      Memindahkan KJA secara regular, missal 1 tahun sekali ke posisi dengan kondisi air yang lebih baik. Serta melakukan aerasi di KJA yang merupakan kegiatan tanggap darurat dan dapat dilakukan hanya sementara waktu.
6.      Untuk mengurangi resiko kematian ikan, juga bisa dilakukan penebaran ikan pemakan planton guna pengendalian blooming alga.

PENUTUP
Pengelolaan kualitas air pada lingkungan kawasan budidaya ikan termasuk KJA merupakan kewajiban bersama antara pemerintah, pemerintah daerah, pelaku utama perikanan, dan masyarakat perikanan sebagai upaya mempertahankan dan memulihkan kualitas air yang masuk dan yang berada di sumber air. Pemanfaatan sumber daya ikan dapat memberikan peningkatan taraf hidup yang berkelanjutan dan berkeadilan melalui pengelolaan perikanan, pengawasan, dan sistem penegakan hukum yang optimal.

DAFTAR PUSTAKA
Azwar, ZI., Ningrum, S dan Ongko, S. 2004. Manajemen Pakan Usaha Budidaya Ikan di Karamba Jaring Apung. Dalam Pengembangan Budidaya Perikanan di Perairan Waduk. Pusat Riset Budidaya Perikanan. Jakarta.
Diersing, Nancy (2009). "Water Quality: Frequently Asked Questions." Florida Brooks National Marine Sanctuary, Key West, FL.
Krismono. 1992. Penelitian Potensi Sumberdaya Perairan Waduk Wadaslintang, Mrica, Karangates dan Waduk Selorejo untuk Budidaya Ikan dalam Keramba Jaring Apung. Buletin Penelitian Perikanan Darat. Vol. II No. 2 Juni. 20 hal.
Lukman dan Hidayat. 2002. Pembebanan dan Distribusi Organik di Waduk Cirata. Jurnal Teknologi Lingkungan. P3TL-BPPT. Vol. 3 (2): 129 – 135.
Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air.
Peraturan Pemerintan Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air.
Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1990 tentang Pengendalian Pencemaran Air.
Phillips, M.J, Clarke, R. dan Mowat, A. 1993. Phosphorus Leaching from Atlantic Salmon Diets, Aquacultural Engineering. 12 (1993) : 47 – 54.
Pillay T.V.R., (1990). Aquaculture, Principles, and Practise. Fishing News Boks. 575 p. Oxford, London, Edinburgh, Cambridge, Victoria.
Rachmansyah. 2004. Analisis Daya Dukung Lingkungan Perairan Teluk Awarange Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan bagi Pengembangan Budidaya Bandeng dalam Keramba Jaring Apung. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Disertasi.
Sutardjo. 2000. Pengaruh Budidaya Ikan pada Kualitas Air Waduk (Studi Kasus pada Budidaya Ikan dalam Keramba Jaring Apung, di Ciganea, Waduk Jatiluhur, Purwakarta, Jawa Barat). Program Studi Ilmu Lingkungan. Program Pascasarjana. Universitas Indonesia. Jakarta. Tesis.
Umaly, R.C and M.A.L.A Cuvin. 1988. Limnology. National Book Store Publisher. Manila.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.

JENIS ALAT TANGKAP IKAN YANG DILARANG PEMERINTAH

Permen Kelautan dan Perikanan No. 2 Tahun 2015 menyatakan bahwa penggunaan alat tangkap pukat hela ( trawls ) dan pukat tarik ( seine nets ...